Legenda Rawa Pening
Rawa Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara Gunung
Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki ukuran sekitar 2.670 hektar yang
menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan
Banyubiru. Menurut cerita, danau ini terbentuk akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di daerah
tersebut.
Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening.
Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem.
Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal
pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka
belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap
menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah.
Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.
Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak
menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang
pundaknya.
“Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut.
“Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.
“Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi.
Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini
tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak.
Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.
“Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus
berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.
“Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata.
Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu.
“Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa
untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan
harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang
diri dengan hati semakin sepi.
Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami
belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalaukalau
terjadi sesuatu pada suaminya.
Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa
dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar.
Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang
dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga.
Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang
bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu
seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti
lonceng.
Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta
pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa
kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga.
Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi
sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan
menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat
Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya
kepada ibunya.
“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari
mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing
mengetahui siapa ayahnya.
“Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung
Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai
Selakanta.
“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing
dengan ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai
Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng
Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki
sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.
“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.
Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara. “Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan
Ki Hajar?”
“Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa
itu penasaran.
Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia
kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak
berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun
mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya.
“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup
bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki
Hajar.
Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal
kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun
mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk
bertapa di Bukit Tugur.
“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi
manusia.”
“Baik,” jawab Baru Klinthing.
Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang
penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan
merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta,
akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan
sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga
beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.
Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika
hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain
adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga
itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan
hidangan dalam pesta.
Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh
dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru
Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia
meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memakimaki,
bahkan mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan
hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama
Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru
Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera
menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke
pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.
“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar
suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia
menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru
Klinthing.
Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil
disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan,
semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu.
Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu
dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama
semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut
hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah
menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini
dikenal dengan Rawa Pening.
Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah
menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu.
Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
Demikian cerita Legenda Rawa Pening dari Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak
terpuji. Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik yang patut untuk
dicontoh, tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, asal, dan kondisi fisik orang yang
ditolong.
0 Komentar